Suasana pedesaan menyapaku dalam kehampaan. Si mungil mengagetkanku dihalaman depan dengan candanya. Ia adalah malaikat kecilku, adikku yang terlahir istimewa. Mengapa istimewa? Tentu saja, karna ia dilahirkan pada usia kandungan 7 bulan, keterbatasannya menjadi hal yang istimewa bagi kami.
Embun pagi yang jernih menetes pada dedaunan. Ia sering kali menghiburku dan juga adik bungsu serta ibuku. Ya, memang kami hanya tinggal bertiga digubuk yang sederhana ini.
"De Fikriii, kau mengagetkanku saja!" sedikit menyentak. Ia malah tertawa melihatku yang kaget.
"Teteh .. Jajan!" serunya.
Mungkin hanya sedikit yang bisa ia ucapkan, namun aku slalu mencoba memahami apa inginnya.
"Rotii .. Yu, teteh antar." sambil menuntunnya ke warung. Kesukaannya roti yang berlapis berisi mocca. Terenyuh ketika ku lihat ia begitu bahagia, seperti mendapatkan emas berharga.
Dicolek-colek oleh jarinya yang mungil. Meski si kecil ini belum bisa lancar dalam bicara, namun diusia mau jalan 5 tahun. Ia sudah terlihat cerdas.
Buktinya tanpa kita suruh, ia belajar berjalan dengan kursi plastik yang dibalik lalu didorong. Sampai ia pun dapat berlari dengan sendiri tanpa dibantu lagi.
Cerdik kan?Hehe ..
Setiap malam aku mendengar Ibu selalu berdoa diiringi isak tangis. Aku tahu, sudah hampir 9 bulan ini Bapak tak pernah menengok kami. Beliau bekerja serabutan di Bandung, dua kakakku juga tinggal bersama Bapak dirumah nenek.
Aku tertidur kembali disamping adik-adik mungilku. Hmmm .. Subuh yang dingin, aku sudah terbiasa bangun pagi dihari Ahad untuk mengikuti pengajian Qiro'at di mesjid yang tak jauh dari rumah. Bersama kawan melewati pesawahan yang gelap gulita. Menggenggam Al-Qur'an dalam dada ditemani cahaya bulan.
Mungkin sekarang tanggal 14, pikirku. Saat ku pulang, seperti biasa Ibu menyiapkan kami makanan seadanya. Telur 1 yang dibagi 4, mie instan 2 yang dibagi untuk berempat pula. Alhamdulillah, hari ini kami masih bisa makan dengan mengutang dulu ke warung Bu Nining pinggir rumah.
Kami sudah kebal dengan suasana seperti ini. "Sabarlah bu, adik .. Suatu saat aku akan mengajak kalian ke restoran terenak di negeri ini", bisikku dalam senyum.
"Bu, besok aku akan ikutan cerdas-cermat IPA antar SD, doakan ya Bu.." membuka pembicaraan.
"Oh ya, tentu saja Ibu akan doakkan," jawab Ibu dengan senyum.
"Siapa saja yang ikut?" tanya Ibu.
"Aku, Irna, Ade," jawabku sumringah.
"Wah bagus, yang pasti banyak baca pengetahuan umum juga Teh, itu ada RPAL sama RPUL.." Ibu menyarankan.
"Pasti Bu .." jawabku membalas senyum.
Sudah beberapa hari ke belakang ini, Fikri sakit-sakitan terus. Ia sering sekali buang air besar, badannya pun panas. Ibu tak punya uang untuk pergi ke dokter, untuk makan pun Ibu harus memelas dulu ke warung tetangga.
Namun alhamdulillah, hari ini De Fikri sedikit membaik, ia sudah bisa tertawa lagi meskipun masih terlihat pucat. Waktu menunjukkan sekitar pukul 10 pagi, Fikri nampak ingin berbicara sesuatu. Tapi aku tidak mengerti apa maunya, lalu ia pun mengeluarkan uang 500 rupiah.
"Oh haha, Ade pengen jajan ya?" tanyaku dengan tawa. Jawabnya hanya anggukan kepala. Tiba di warung belakang rumah ia disambut ceria, kelucuannya membuat banyak orang mengenalnya, ada pula yang iseng menyubit pipinya yang menggemaskan.
"Tumben, si Ade lama di warungnya, sampe ada acara duduk dulu." gumamku dalam hati.
Setelah roti habis, ia ingin lagi. Tapi aku tak punya uang untuk membelinya. Untung Bu Atik, sang pemilik warung tahu betul tentang keadaan kami.
"Ini buat si Ade, manisnya dulu atuh .." menggoda si adik.
Ia pun langsung mengambil rotinya dengan malu-malu sambil mengedip-ngedipkan mata sebagai tanda manisnya. Kami pun berpamitan pulang.
"Dadaaahh .." saut adikku dengan lantang dan nyaring. Dengan sedikit kaget aku pun ikut melambaikan tangan kepada Bu Atik. Tingkahnya membuat orang yang ada di warung tertawa-tawa.
Karna rumah kami ada dibawah(lebak kata orang sunda), aku menggendongnya.
"Aduh berat juga De .." aku menggodanya. Ia membalasku dengan meronta-ronta sambil tertawa.
Sudah masuk dzuhur, selesai shalat aku menghampiri adikku. Ternyata ia sedang dijahili oleh adik yang kecil. Denda, ia malah tertawa menggoda kakaknya. Fikri yang tak suka dengan tingkah sang adik akhirnya menangis. Lalu seperti biasa, aku selalu membuatnya diam dengan bernyanyi.
"Tanah airku Indonesia ..
Negeri elok amat ku cinta.
Tanah tumpah darahku yang mulia.
Yang ku puja sepanjang masa ..."
Saat reff, ia pun mulai mengikuti sedikit demi sedikit. "Melambai-lambai .. Ia menyusul dengan kata "Mbaaii .." Meski hanya itu yang bisa ia nyanyikan, namun aku tetap setia menyanyikan lagu itu.
Bukan hanya lagu wajib Rayuan Pulau Kelapa, ia juga sangat suka lagu Tanah Airku, Berkibarlah, dan masih banyak lagi. Itu semua berkat Ibu yang tidak bosan mengajarkan kami bernyanyi.
Selesai beberapa lagu ia belum juga tertidur, sepertinya ia memberi isyarat. Ibu yang mengerti, memulai bershalawat.
"Oh Ade pengen shalawat .." tanyaku sambil melanjutkan shalawat yang diucapkan ibu.
"Allaahumma sholli'alaa Muhammad yaa Robbi sholli'alaihi wasallim. Allaahumma sholli'alaa Muhammad yaa Robbiba likul washiilaa .."
Ternyata ia berseri-seri. Aku pun ikut senang. Matahari masih terik, sambil bershalawat aku dan Fikri menengok ke arah jendela. Kami berdiri, kulihat ada yang bergerak disemak-semak batu depan rumah. "Hah! Ibuu .. Lihat! Itu ulaar ..!" teriakku ketakutan.
"Tenang, Ibu akan menutup sela-sela pintu dulu .. Tetap disini .." Ibu menenangkan.
De Fikri dan Denda memukul-mukul kaca jendela, dengan maksud agar ularnya menjauh. Anak yang cerdik, pikirku tersenyum.
Ular pun menjauh. Aku, Fikri, dan Denda berbaring kembali dengan shalawat.
Ibu nampak sibuk dengan melipat baju-baju yang sudah kering.
Mata terkatup seiring hujan membasahi kuningnya padi disamping gubuk ini.
Aku terbangun oleh seruan adzan Ashar, aku bergegas mandi, sholat, dan berangkat sekolah agama. Aku pulang pukul 17.30, selepas maghrib Ibu nampak menggendong si Ade dalam dekapan badannya.
"Ade kenapa lagi Bu?" tanyaku sedih.
"Badannya panas lagi Teh, batuknya ga berhenti dari tadi." jawab Ibu semakin erat.
Aku terdiam mendengar batuknya yang semakin meradang, adik bungsu juga jadi ikutan rewel. Tidak seperti biasanya, ia nangis terus. Aku mencoba menenangkannya.
Sudah hampir pukul 21.30, tapi Ibu masih berdoa sambil mengusap kepala Fikri. Tak lama dari itu, Fikri terbangun dan meminta Ibu mengantarnya buang air besar. Ibu menunggu didepan kamar mandi.
Selesai buang air, adikku terlihat aneh. Ia sering menengok ke arah dapur dan berkata "Mamaah ..".
Ibu yang heran langsung memeluknya, "Ini mamah, De .." lirihnya.
Aku mengernyitkan dahi, ada apa dengan adikku ini? Ibu kembali memeluknya sambil duduk dengan shalawat yang tak henti-hentinya.
Mataku sudah tak kuat lagi, aku pun memutuskan untuk tidur duluan disamping Ibu. Tidur pun terasa tak nyaman, aku merasa tidak tenang. "Ya Allah, sehatkanlah adikku .. Ia masih kecil dan terlalu berat untuk menerima penyakit ini .." doaku sebelum terlelap.
Tepat pukul 22.30 aku dibangunkan oleh Ibu.
"Jangan tidur dulu Teh, kita doakan De Fikri. Si Ade semakin panas badannya, ditambah sesak nafas dan batuk-batuknya juga ga berhenti." Ibu sedikit panik.
Namun ia mencoba tenang, meski ku tahu dalam hatinya beliau menangis.
Aku dan Ibu tak lepas dari dzikir dan doa. Dari luar terdengar suara binatang malam menemani kegundahan hati ini.
"Ya Robbi .. Aku mohon, sembuhkan adikku! Kembalikan keceriaannya." gumamku dengan tangis. Ibu semakin tak tenang melihat raut wajah De Fikri dan suara nafas yang tersendat-sendat.
"Tahan ya sayang, Ibu disini .." setitik air mata pun menetes.
"Mammaah .." adikku mengulangi kata-katanya.
"Sabar ya, yu .. Sebut Allah, Allah, Allah.." Ibu menuturkan. Si kecil mengikuti kata-kata yang Ibu ungkapkan. "Allah, Allah, Allah.." suara tenggorokannya terdengar jelas.
"Ibu, De Fikri kenapa?" tanyaku panik.
"Cepat panggilkan Kang Enceng!!" suara Ibu menyentak.
Sambil berlari ke tetangga belakang rumah, aku menjerit menangis. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Sekarang aku hanya berlari sekencangnya ..!
"Assalamu'alaikum .. Kang Enceng, Kang Enceng!" seruku.
"Wa'alaikumsalam, ada apa neng? Tenang, tenang dulu .. Coba ceritakan apa yang terjadi?" tanya Kang Enceng terheran-heran.
"Ibu, Kang .. Eh, Fik .. fikri, Kang .. Tolongin dia .." tanpa panjang lebar Kang Enceng pun berlari ke rumahku. Aku pun mengikutinya dari belakang.
"Ada apa Bu?" tanya Kang Enceng sambil mendekatkan tangannya pada hidung De Fikri.
Aku yang melihat Ibu menangis hingga keras, ikut menangis menjerit. "Ade kenapa Bu? Apa yang terjadi?" tanyaku mendekati Ibu.
Ibu tak menjawab. Dengan lembut Kang Enceng mengucapkan " Innalillahi wa inna ilaihi roji'un .."
"Hah? Adeee .. De Fikrii .. Ga mungkin, kenapa Ya Allah!" teriakku memecah haru. Ibu tak berhenti, beliau yang paling susah untuk didiamkan. Aku memeluknya erat.
Tetangga mulai berdatangan, tepat pada pukul 23.00 adikku menutupkan matanya yang terakhir kali. Aku masih belum bisa menerima tubuhnya yang lincah kini kaku oleh maut.
Tetanggaku menghubungi sanak saudara, terutama Bapak.
Hmm .. Setega itukah? Sampai malaikat mencabut ruh nya pun, tak ada sosok Ayah yang setia mendampingi. Rasanya hidup ini ga adil!
Namun aku kembali istighfar, Allah begitu baiknya. Engkau mengambilnya dalam keadaan kami yang serba kekurangan, mungkin daripada ia kelaparan, lebih baik Engkau mengambilnya untuk di surgaMu.
Perutnya yang panas disebabkan banyaknya mie instan yang masuk ke perutnya, ya mungkin itu pikirku. Tapi ini memang sudah menjadi suratanNya.
Sekitar pukul 03.00, Bapak dan nenekku sampai. Melihatnya pun aku sedikit kesal, emas yang menumpuk dipergelangan beliau. Apa tak malu, kami disini sedang berduka ..! gurauku. Ah sudahlah, untuk apa memikirkan hal itu.
Kain kafan sudah membungkusnya, teringat dua hari lagi Fikri ulang tahun yang ke 5. Teman-teman sekolahku berdatangan, sepeda yang mereka tumpangi dibantingnya. Mereka langsung memelukku.
"Tun, bagaimana nasib kita tanpamu?" tanya Irna.
"Tenang saja, kan ada Fitria. Gantikan saja posisiku ya Fit .." tersenyum kepada mereka.
"Tapi kan Tun .." sela Ade sahabatku.
"Sudah, sudah .. Kau harus mengerti keadaanku .." mencoba tetap tersenyum.
"Baiklah, kita turut berduka cita, yang sabar ya kawan .." seru mereka.
"InsyaAllah, aamiin .. Mudah-mudahan aku bisa menerima kenyataan ini." jawabku lirih.
Mereka dengan kuat memelukku. Support mereka sangat berarti untukku. Pak Aep, guru pengajianku menyarankan agar Ibu dan aku tetap diam saja dirumah. Beliau khawatir melihat Ibu yang terus saja menangis. Aku yang ingin mengantarkan si kecil ke tempat terakhirnya, tidak diperbolehkan untuk ikut.
Terlihat Bapak menggendong De Fikri dibantu oleh Kang Enceng. Badan si Ade terlihat tinggi, orang pun bertanya-tanya. Terlihat seperti anak SD.
Sejauh mata memandang ..
Kau pergi tanpa kembali.
Wajahnya bak rembulan.
Terlihat senyum dibalik kemelut pahitnya hidup ,.
Selamat tinggal malaikat kecilku.
Semoga kau bahagia dengan segala pernak-pernik dan kemewahan jannahNya .....
Manfaat/faedah dari cerita: ...
Cerita yang membangun dan menjadi motivasi untuk saya dibalik keterpurukan dunia. Kasih yang tulus seorang Ibu kepada anaknya menjadi suatu hikmah yang mendalam dari cerita ini. Semoga kita pun dapat memetik hikmah dan manfaat dari cerita tersebut.
Baarakallahu fikum ..
.... Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya sempurnalah semua kebaikan ....
Wallahu a'lam bishshawab, ..
… Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci …
Wabillahi Taufik Wal Hidayah, …
Salam Terkasih ..
Dari Sahabat Untuk Sahabat …
~ o ~
Semoga bermanfaat dan Penuh Kebarokahan dari Allah …
Silahkan DICOPAS atau DI SHARE jika menurut sahabat note ini bermanfaat ….
# BERSIHKAN HATI MENUJU RIDHA ILAHI #
------------------------------
…. Subhanallah wabihamdihi Subhanakallahumma Wabihamdika Asyhadu Allailaaha Illa Anta Astaghfiruka Wa’atuubu Ilaik ….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar